Budaya
Budaya atau kebudayaan berasal
dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai
hal-hal yang berkaitan dengan budi, dan akal manusia.
Dalam bahasa
Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere,
yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah
atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai
"kultur" dalam bahasa Indonesia.
Pengertian
Budaya
Kebudayaan
sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw
Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat
ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah
untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits
memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke
generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut
Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma
sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius,
dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual, dan artistik yang
menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut
Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di
dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat
istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota
masyarakat.
Menurut
Selo Soemardjan, dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya,
rasa, dan cipta masyarakat.
Dari
berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan
adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan, dan meliputi sistem
ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan
sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan
perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai
makhluk yang berbudaya, berupa perilaku, dan benda-benda yang bersifat nyata,
misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial,
religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia
dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Unsur-Unsur
Kebudayaan
Ada
beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur
kebudayaan, antara lain sebagai berikut:
Melville
J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:
·
alat-alat teknologi
·
sistem ekonomi
·
keluarga
·
kekuasaan politik
Bronislaw
Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi:
·
sistem norma sosial yang memungkinkan
kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam
sekelilingnya
·
organisasi ekonomi
·
alat-alat, dan lembaga-lembaga atau
petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama)
·
organisasi kekuatan (politik)
C.
Kluckhohn mengemukakan ada 7 unsur kebudayaan secara universal (universal
categories of culture) yaitu:
·
bahasa
·
sistem pengetahuan
·
sistem tekhnologi, dan peralatan
·
sistem kesenian
·
sistem mata pencarian hidup
·
sistem religi
·
sistem kekerabatan, dan organisasi
kemasyarakatan
Wujud Kebudayan
Menurut J.J.
Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan
artefak.
1. Gagasan
(Wujud ideal)
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan, dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.
2. Aktivitas
(tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati, dan didokumentasikan.
3.
Artefak (karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret di antara ketiga wujud kebudayaan. Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur, dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.
Oriantasi Nilai
Kluckhohn
dalam Pelly (1994) mengemukakan
bahwa nilai budaya merupakan sebuah
konsep beruanglingkup luas yang hidup dalam
alam fikiran sebahagian besar warga suatu masyarakat, mengenai apa yang
paling berharga dalam hidup. Rangkaian konsep itu satu sama lain saling
berkaitan dan merupakan sebuah sistem nilai – nilai budaya.
Secara
fungsional sistem nilai ini mendorong
individu untuk berperilaku seperti apa yang
ditentukan. Mereka percaya, bahwa hanya
dengan berperilaku seperti itu mereka akan berhasil (Kahl, dalam
Pelly:1994). Sistem nilai itu menjadi pedoman yang melekat erat secara
emosional pada diri seseorang atau sekumpulan orang, malah merupakan tujuan
hidup yang diperjuangkan. Oleh karena itu, merubah sistem nilai manusia
tidaklah mudah, dibutuhkan waktu. Sebab, nilai – nilai tersebut merupakan
wujud ideal dari lingkungan sosialnya.
Dapat pula dikatakan bahwa sistem
nilai budaya suatu masyarakat
merupakan wujud konsepsional dari
kebudayaan mereka, yang seolah – olah berada diluar dan di atas para individu
warga masyarakat itu.
Ada
lima masalah pokok kehidupan manusia dalam setiap kebudayaan yang dapat
ditemukan secara universal. Menurut Kluckhohn dalam Pelly (1994) kelima masalah
pokok tersebut adalah: (1) masalah hakekat hidup, (2) hakekat kerja atau karya
manusia, (3) hakekat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, (4) hakekat
hubungan manusia dengan alam sekitar, dan (5) hakekat dari hubungan manusia
dengan manusia sesamanya.
Berbagai
kebudayaan mengkonsepsikan masalah
universal ini dengan berbagai variasi
yang berbeda – beda. Seperti masalah
pertama, yaitu mengenai hakekat hidup manusia. Dalam banyak
kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Budha misalnya, menganggap hidup itu
buruk dan menyedihkan. Oleh karena itu pola kehidupan masyarakatnya berusaha
untuk memadamkan hidup itu guna mendapatkan nirwana,
dan mengenyampingkan segala
tindakan yang dapat menambah rangkaian hidup kembali
(samsara) (Koentjaraningrat, 1986:10). Pandangan seperti ini
sangat mempengaruhi wawasan dan makna kehidupan
itu secara keseluruhan. Sebaliknya banyak kebudayaan yang berpendapat bahwa
hidup itu baik. Tentu konsep – konsep kebudayaan yang berbeda ini berpengaruh
pula pada sikap dan wawasan mereka.
Masalah
kedua mengenai hakekat kerja atau karya dalam kehidupan. Ada kebudayaan yang
memandang bahwa kerja itu sebagai usaha untuk kelangsungan hidup (survive)
semata. Kelompok ini kurang tertarik kepada kerja keras. Akan tetapi ada juga
yang menganggap kerja untuk mendapatkan status, jabatan dan kehormatan. Namun,
ada yang berpendapat bahwa kerja untuk mempertinggi prestasi. Mereka ini
berorientasi kepada prestasi bukan kepada status.
Masalah
ketiga mengenai orientasi manusia terhadap waktu. Ada budaya yang memandang
penting masa lampau, tetapi ada yang melihat masa kini sebagai focus usaha
dalam perjuangannya. Sebaliknya ada yang jauh melihat kedepan. Pandangan yang
berbeda dalam dimensi waktu ini sangat mempengaruhi perencanaan hidup
masyarakatnya.
Masalah
keempat berkaitan dengan kedudukan fungsional manusia terhadap alam. Ada yang
percaya bahwa alam itu dahsyat dan mengenai kehidupan manusia. Sebaliknya ada
yang menganggap alam sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk dikuasai
manusia. Akan tetapi, ada juga kebudayaan ingin mencari harmoni dan keselarasan
dengan alam. Cara pandang ini akan berpengaruh terhadap pola aktivitas
masyarakatnya.
Masalah
kelima menyangkut hubungan antar manusia. Dalam banyak kebudayaan hubungan ini
tampak dalam bentuk orientasi berfikir, cara bermusyawarah, mengambil keputusan
dan bertindak. Kebudayaan yang menekankan hubungan horizontal (koleteral) antar
individu, cenderung untuk mementingkan hak azasi, kemerdekaan dan kemandirian
seperti terlihat dalam masyarakat – masyarakat eligaterian. Sebaliknya
kebudayaan yang menekankan hubungan vertical cenderung untuk mengembangkan
orientasi keatas (kepada senioritas, penguasa atau pemimpin). Orientasi ini
banyak terdapat dalam masyarakat paternalistic (kebapaan). Tentu saja pandangan
ini sangat mempengaruhi proses dinamika dan mobilitas social masyarakatnya.
Inti
permasalahan disini seperti yang dikemukakan oleh Manan dalam Pelly (1994)
adalah siapa yang harus mengambil keputusan. Sebaiknya dalam system hubungan
vertical keputusan dibuat oleh atasan (senior) untuk semua orang. Tetapi
dalam masyarakat yang mementingkan kemandirian
individual, maka keputusan dibuat dan diarahkan kepada masing –
masing individu.
Pola
orientasi nilai budaya yang hitam putih tersebut di atas merupakan pola yang
ideal untuk masing – masing pihak. Dalam kenyataannya terdapat nuansa atau
variasi antara kedua pola yang ekstrim
itu yang dapat disebut sebagai pola transisional.
Kerangka Kluckhohn mengenai lima masalah dasar dalam hidup yang menentukan
orientasi nilai budaya manusia dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Tabel
Skema Kluckhohn: Lima Masalah Dasar Yang Menentukan Orientasi
Nilai
Budaya Manusia
Masalah
Dasar Dalam Hidup
|
Orientasi
Nilai Budaya
|
||
Konservatif
|
Transisi
|
Progresif
|
|
Hakekat
Hidup
|
Hidup
itu buruk
|
Hidup
itu baik
|
Hidup
itu sukar tetapi harus diperjuangkan
|
Hakekat
Kerja/karya
|
Kelangsungan
hidup
|
Kedudukan
dan kehormatan / prestise
|
Mempertinggi
prestise
|
Hubungan
Manusia Dengan Waktu
|
Orientasi
ke masa lalu
|
Orientasi
ke masa kini
|
Orientasi
ke masa depan
|
Hubungan
Manusia Dengan Alam
|
Tunduk
kepada alam
|
Selaras
dengan alam
|
Menguasai
alam
|
Hubungan
Manusia Dengan Sesamanya
|
Vertikal
|
Horizontal/
kolekial
|
Individual/mandiri
|
Dimodifikasi
dari Pelly (1994:104)
Meskipun
cara mengkonsepsikan lima masalah pokok dalam kehidupan manusia yang universal
itu sebagaimana yang tersebut diatas berbeda – beda untuk tiap masyarakat dan
kebudayaan, namun dalam tiap lingkungan masyarakat dan kebudayaan tersebut lima
hal tersebut di atas selalu ada.
Sementara
itu Koentjaraningrat telah menerapkan kerangka Kluckhohn di atas untuk
menganalisis masalah nilai budaya bangsa Indonesia, dan menunjukkan titik –
titik kelemahan dari kebudayaan
Indonesia yang menghambat pembangunan
nasional. Kelemahan utama antara lain mentalitas meremehkan mutu, mentalitas
suka menerabas, sifat tidak percaya kepada diri sendiri, sifat tidak
berdisiplin murni, mentalitas suka mengabaikan tanggungjawab.
Kerangka
Kluckhohn itu juga telah dipergunakan dalam penelitian dengan kuesioner untuk
mengetahui secara objektif cara berfikir dan bertindak suku – suku di Indonesia
umumnya yang menguntungkan dan merugikan pembangunan.
Selain
itu juga, penelitian variasi orientasi nilai budaya tersebut dimaksudkan
disamping untuk mendapatkan gambaran sistem nilai budaya kelompok – kelompok
etnik di Indonesia, tetapi juga untuk menelusuri sejauhmana kelompok masyarakat
itu memiliki system orientasi nilai budaya yang sesuai dan menopang pelaksanaan
pembangunan nasional.
Perubahan Kebudayaan
Perubahan
kebudayaan : perubahan dalama sistem ide yang dimiliki bersama pada berbagai
bidang kehidupan dlaam masyarakat bersangkutan
Sumber:
·
(11 Marey 2015). id.wikipedia.org From : http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya
·
Irwan Zulkifli (19 November 2013) . irwanzulkifli.wordpress.com
From : https://irwanzulkifli.wordpress.com/2013/11/19/orientasi-nilai-budaya/
·
Pipit (31 Oktober 2013) . owlcastle.wordpress.comhttps
From : //owlcastle.wordpress.com/2013/10/31/perubahan-sosial-dan-perubahan-budaya/